Walhi Sumbar : Mangrove Rusak dan Masyarakat Merugi Tommy Adam selaku Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup Walhi Sumatera Barat mengatakan setiap Tahunnya ekosistem mangrove terus mengalami penurunan.
Dia mengatakan berdasarkan Peta Mangrove tahun 2021 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan luas mangrove di Sumatera Barat yaitu 16.900 hektar. Rincinya mangrove jarang seluas 210 hektar, mangrove lebat 13.000 hektar lebih, kemudian mangrove sedang 3.549 hektar. diantaranya persoalan di sekitar pesisir.
Pada Tanggal 23 September 2022 Walhi Sumbar mengunjungi masyarakat di Muara Nagari Gasan Gadang, Kabupaten Padang Pariaman. “Masyarakat menolak karena tambak udang akan berdampak terhadap polusi udara, kesehatan masyarakat, rusaknya ekosistem mangrove dan biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat,” kata Tommy. Dia mengatakan dari analisis Walhi Sumbar luas ekosistem mangrove di Muara Nagari Gasan Gadang dan Nagari Malai V Suku memiliki luasan 30.7 Ha. Dalam ekosistem itu terdapat keanekaragaman hayati flora dan fauna khas muara antara lain bakau, nipah, lokan, langkitang, kepiting bakau. Flora dan fauna tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar dan nelayan yang ada di 2 kenagarian. Tommy mengatakan semuanya bermula pada Tahun 2016. Saat Tambak udang yang berada di muara nagari Tanjung Gasan merusak ekosistem mangrove.
Kerusakan berasal dari cemaran limbah proses produksi tambak udang. “Setidaknya ada 8 petak tambak udang yang ada di Muara tersebut, dari pantauan Walhi Sumbar dari rona warna air sungai berwarna hitam pekat akibat pembuangan limbah. Beberapa bulan lalu tambak udang tersebut juga mendapatkan teguran karena tidak memiliki ipal. Masyarakat menduga menurunya kualitas Ekosistem muara berdampak terhadap hilang dan berkurangnya keanekaragaman hayati pada muara tersebut, salah satunya sudah tidak ada lagi kepiting Muara yang ditemukan atau punah,” katanya.
Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Sumbar, diyakini tak hanya untuk memberikan perlindungan terhadap ekologi lingkungan di laut dan pesisir. Namun juga, akan bisa meningkatkan ekonomi sosial masyarakat di pesisir. Contoh ini menrut Tommy dapat dilihat di Nagari Gasan Gadang dan Malai V Suku. “Masyarakat setempat menggantungkan hidup dari mencari dan menjual lokan, kepiting bakau, umang umang yang berada di ekosistem mangrove. Kepiting bakau dapat mencapai berat 1 kg dan dihargai Rp 100.000 – Rp 150.000. Semenjak beroperasinya tambak udang, menyebabkan susahnya mencari lokan, kepiting bakau, umang umang. Sebelum ada tambak udang masyarakat bisa menghasilkan penghasilan seharinya sampai dengan Rp.300.000,” kata Tommy.
Gubernur Sumatera Barat melalui Nomor 1011/INST-2021 tentang Moratorium tambak udang vaname bahwa pemerintah kabupaten/kota harus Menghentikan pembukaan lahan baru untuk pembangunan tambak-tambak udang Vaname yang tidak mempunyai izin dan yang belum diakomodir dalam Perda tentang tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. “Seharusnya ini sudah menjadi dasar bagi pemkab Padang Pariaman untuk menghentikan tambak baru yang akan membuka lahan di Nagari Gasan Gadang dan Malai V Suku,” katanya.