Interes.id- Banjir bandang lahar dingin Gunung Marapi, 11 Mei 2024, meluluhlantakkan sejumlah daerah di Sumatera Barat, yaitu Tanah Datar, Agam dan Padang Panjang. Data terakhir Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Sumbar, 60 orang tewas dan dan 10 orang tak ditemukan.
Tak hanya menimbulkan korban jiwa, akses transportasi utama dari Padang menuju Padang Panjang, Bukittinggi hingga ke Riau terputus. Bahkan seluruh lokasi wisata pemandian yang ada di kawasan Taman Wisata Alam Lembah Anai, porak poranda. Termasuk kafe baru yang berdiri persis di pinggir sungai Lembah Anai hilang di hantam arus.
Bencana akibat terjangan arus sungai di Lembah Anai seringkali terjadi, termasuk di zaman Kolonial Belanda. Menurut peneliti sejarah Fikrul Hanif Sufyan, tercatat dua kali banjir besar di masa itu, yaitu pada 1894 dan 1904.
Menurut Fikrul, Lembah Anai saat itu tidak saja pintu penghubung pesisir pantai barat Sumatra menuju pedalaman Minangkabau, namun juga akses utama masuknya modernisasi.
………..
Sejarah Jalan Lembah Anai
Jalan di Lembah Anai ini dulunya hanya jalan setapak. Sehingga pengangkutan barang dari dan menuju pedalaman Minangkabau hanya dengan kuda beban, pedate dan tenaga manusia. Topografi dan cuaca setempat, semakin memperlambat alur distribusi. Mengatasi persoalan itu, pada 1833 Belanda memulai pembangunan jalan raya.
Bahkan pada 1890, di bangun pula rel kereta api melintasi kawasan Lembah Anai, guna menghubungkan Sawahlunto dengan Padang, untuk mengangkut batu bara.
Menurut Fikrul, pada 11 Desember 1890, kereta api uap yang kini disebut Mak Itam, untuk pertama kali melintasi Lembah Anai, dengan rel kereta api bergeriginya.
Baru dua tahun beroperasi, pada Desember 1892 banjir bandang menerjang jembatan kereta api di Lembah Anai, hingga ambruk.
Bataviaasch Nieuwsblad pada 8 Januari 1893 menulis, bencana terjadi pada malam natal setelah hujan tanpa henti selama delapan jam, pada 23 Desember sampai 25 Desember 1892. Tak hanya jembatan kereta api, rel dan rumah-rumah di kawasan itu hancur. Butuh waktu berbulan bulan dengan biaya perbaikan setengah juta gulden untuk memperbaiki kerusakan itu.
12 tahun kemudian, tepatnya 7 Januari 1904, galodo atau banjir bandang kembali menerjang Lembah Anai. Kali ini lebih parah dari sebelumnya. Dampaknya, lalu lintas kereta api terganggu selama enam dua bulan. Sehingga pengiriman batu bara ke pelabuhan Emmahaven atau Pelabuhan Teluk Bayur digantikan sementara dengan Pedati atau gerobak kerbau.
Kerugian materil akibat bencana banjir lahar dingin Gunung Marapi pada Mei 2024 diperkirakan mencapai 108 milyar rupiah. Hingga kini penanganan pasca bencana terus dilakukan, termasuk perbaikan jalan yang putus di Lembah Anai, yang ditargetkan rampung pada Juli 2024.