Interes.id – Sebagai ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tua Peijat terlihat lebih maju dibandingkan daerah lain di kepulauan tersebut. Namun, tidak halnya dengan ketersediaan air bersih.
Tua Peijat menghadapi krisis air bersih buntut masifnya eksploitasi hutan sejak 50 tahun terakhir. Aliran sungai menjadi keruh dan banjir kerap terjadi. Sebanyak 12.000 jiwa penduduk kini menanggung dampaknya.
Seperti yang dialami Pinda Tangkas, warga Desa Tua Peijat. Ia tak bisa mengandalkan air PAM yang mengaliri rumahnya sebagai sumber air minum, melainkan harus menampung air hujan.
Untuk menyimpan pasokan air hujan, ia membuat saluran air di sekeliling atap rumah. Saluran itu terhubung ke tangki plastik. Namun, butuh biaya besar hingga jutaan rupiah agar air bisa tertampung dengan baik.
Tidak hanya Pinda, warga lain di Desa Tua Peijat melakukan hal serupa. Namun, bagi mereka yang kurang biaya, mereka terpaksa membuat bak penampungan sederhana.
Ketersediaan air bersih untuk minum hanya bisa diandalkan jika musim hujan. Pada musim kemarau, warga terpaksa mencari air ke lokasi lain, yang berjarak cukup jauh. Jika tidak, mereka harus menguras kocek mereka membeli air galon.
Pinda yang aktivis lingkungan ini menduga, krisis air di Sipora merupakan dampak penebangan hutan yang telah berlangsung lama.
Keruhnya air sungai berdampak pada usaha toek atau cacing kayu milik warga Desa Goisoinan, Sipora Utara. Warga mengandalkan aliran sungai untuk membuat toek. Namun, toek yang di dalam potongan kayu yang direndam di sungai akan menjadi cokelat lantaran air sungai yang keruh.
Toek demikian tidak diminati pembeli. Sementara itu, jika arus sungai yang meluap, maka kayu yang telah direndam berbulan-bulan tempat toek berbiak akan hanyut.
Untuk memenuhi air bersih bagi warga, pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai melalui Bidang Cipta Karya dan Bina Konstruksi Dinas Pekerjaan Umum telah membuat instalasi air minum di daerah SP Tiga, yang tersambung ke rumah-rumah warga.
Kepala Bidang Cipta Karya dan Bina Konstruksi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kepulauan Mentawai Arjun Pasaribu, sebagai pihak yang bertugas menyediakan air bersih untuk warga, mengatakan ada 2.000 pelanggan di Kecamatan Sipora Utara. Namun, baru 80 persen yang terlayani. Itu pun belum 24 jam, serta kualitas air yang belum baik.
Arjun mengakui terganggunya layanan air bersih akibat Sungai Simalelet, sebagai sumber air PAM satu-satunya, selalu keruh di setiap hujan. Akibatnya pengolahan air pun terganggu.
Meski enggan berkomentar tentang penyebab sering keruhnya aliran sungai Simalelet, ia mengimbau agar kawasan hutan di hulu dan sepanjang aliran sungai itu harus terus di jaga dari penebangan.
Berkurangnya kawasan hutan di Pulau Sipora telah berlangsung lama. Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM) Rifai Lubis menyebut, eksploitasi sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Setelah izin HPH, perizinan diberikan melalui akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH). Izin SIPUHH ini masih berlangsung hingga kini.
Di tengah eksploitasi hutan yang terus berjalan, proses perizinan deforestasi masih berlangsung melalui skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan (PBPHH) seluas 20.700 hektare. Itu sama dengan sepertiga luas Pulau Sipora. Rifai Lubis menilai, izin itu nantinya akan mengancam Pulau Sipora dan masyarakatnya sehingga lembaga tersebut berupaya melawan dengan berbagai cara.
Rifai menambahkan, sesuai Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan perubahannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014, pulau-pulau kecil tidak boleh di eksploitasi sumber daya alamnya. Namun, hal itu ternyata tidak berlaku untuk Sipora, meski juga berkategori kecil, dengan luas 61.500 hektare.
Sipora tetap menjadi target eksploitasi. Menurut YCMM, pemerintah sebelumnya menunjuk 35.400 hektare luas Sipora sebagai kawasan hutan, dan 26.000 hektare sebagai areal penggunaan lain (APL).
Dari 35.000 hektare kawasan hutan, 28.000 hektare ditetapkan sebagai hutan produksi dan 5.000 delapan ratus hektare sebagai hutan produksi konversi. Hanya 661 hektare yang dijadikan hutan lindung.
Pada 24 Juli 2023, bertempat di Uma Saureinu, Desa Saureinu, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, enam pimpinan lembaga adat di daerah itu berkumpul. Bersama mereka, ikut hadir Ketua Aliansi Masyarakat Adat Kabupaten Kepulauan Mentawai (Aman).
Menurut inisiator pertemuan, Nulker Sababalat, mereka membahas rencana hadirnya PBPHH di daerah mereka, seluas 20.706 hektare. PBPHH yang diajukan sebuah perusahaan itu dikhawatirkan menambah hilangnya hutan di Pulau Sipora, dan berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat setempat.
Dalam pertemuan selama beberapa jam itu, sejumlah perwakilan suku-suku di sekitar Saureinuk atau sekitar kawasan daerah PBPHH, menyatakan penolakan mereka.
Penolakan terhadap rencana izin eksploitasi hutan Pulau Sipora juga disampaikan Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai, Yosep Sagurung. Menurutnya, hal itu hanya akan menguntungkan perusahaan dan berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Untuk itu ia meminta agar PBPHH dikaji ulang.
Pengajuan izin pengelolaan hutan di Pulau Sipora diakui oleh Dinas Kehutanan Sumbar. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozawardi, izin diajukan sejak 2017 oleh PT Sumber Permata Sipora, seluas 20.000 hektare lebih melalui Dinas Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu (DPMTSP) Sumatera Barat. Namun, ia mengaku hanya diminta memberikan kajian dan rekomendasi.
Terkait ancaman terhadap lingkungan dan masyarakat, jika eksploitasi hutan dilakukan, Yozawardi mengaku, kajian Amdal bukan kewenangan mereka. Menurutnya, kajian tersebut biasanya akan dilakukan jika izin sudah diberikan. Ia juga memastikan, telah mengeluarkan kawasan hutan adat dalam rekomendasi terhadap PBPH di Sipora.
Eksploitasi hutan di Kepulauan Mentawai tidak hanya terjadi di Pulau Sipora, tapi di pulau utama lain yakni Pulau Siberut, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Warga sudah merasakan dampaknya, seperti sulitnya sumber air bersih dan seringnya terjadi banjir. Warga berharap pemerintah kembali mengkaji perizinan pengelolaan hutan di wilayah mereka.