Interes.id – Sebagai daerah yang kaya akan keragaman tradisi dan budaya, Minangkabau punya banyak perhelatan besar. Salah satunya Tabuik atau Batabuik yang diadakan setiap tahun di Pariaman. Dilihat dari lama penyelenggaraan dan massa yang terlibat, Tabuik merupakan perhelatan terbesar di Minangkabau.
Tabuik berlangsung dari tanggal 1 sampai 10 Muharram. Bermula dari tradisi, Tabuik kini menjelma menjadi festival yang diadakan secara resmi oleh Pemerintah Kota Pariaman. Tabuik merupakan daya tarik wisata utama di Pariaman. Puncak penyelenggaraannya selalu disaksikan ribuan pengunjung.
Merentang Sejarah Tabuik
Sejarah Tabuik atau Batabuik di Pariaman terentang sejak ratusan tahun silam. Sebagai tradisi tahunan, penyelenggaraan Tabuik telah berlangsung sejak abad ke-19. Akan tetapi, asal usulnya bisa ditarik jauh ke belakang.
Menurut Zakaria dkk dalam Penyelenggaraan Pesta Budaya Tabuik: Perspektif Nilai-nilai Agama (2005), kata Tabuik berasal dari bahasa Arab (Ibrani) yakni “At-Tabut”, berarti peti dan keranda. Dalam tradisi Mesir Kuno, tabut merujuk pada peti dari batu atau kayu tempat meletakkan mayat. Di atas peti itu, ditumbuhi relief dan gambar-gambar kesedihan orang Mesir serta keyakinan pada alam lain (hlm. 1)
Tabuik di Pariaman diselenggarakan untuk memperingati wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husein bin Ali, pada tanggal 10 Muharram. Husein beserta keluarganya wafat dalam medan perang di Padang Karbala, Irak.
Legenda terkenal mengisahkan, setelah wafatnya sang cucu Nabi, kotak kayu berisi potongan jenazah Husein diterbangkan ke langit oleh buraq. Bruaq adalah makhluk mitologi berwujud kuda bersayap berkepala manusia. Berdasarkan legenda inilah, setiap tahun masyarakat Pariaman membuat tiruan dari buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya.
Dibawa Bangsa Cipei, India
Meski sejarahnya berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Irak, Refisrul dalam artikelnya di Jurnal Sejarah Badan Pelestarian Nilai Budaya berjudul “Upacara Tabuik: Ritual Keagamaan pada Masyarakat Pariaman” (2016) menyebut perayaan Tabuik di Pariaman berasal dari Bengkulu, yang dibawa oleh Bangsa Cipei, India (hlm. 537).
Bangsa Cipei atau Keling (Tamil Muslim) didatangkan Inggris sebagai serdadu ketika menguasai (mengambil alih) Bengkulu dari tangan Belanda yang dikenal dengan Traktat London 1824.
Setelah Belanda kembali merebut Bengkulu dari tangan Inggris dan menukarnya dengan Singapura, sebagian Bangsa Cipei datang ke Pariaman. Menurut Buya Hamka sebagaimana dikutip Zakaria dkk (2005), Orang Cipei di Pariaman berprofesi sebagai tukang patri. Mereka inilah yang memperkenalkan Tabuik kepada masyarakat setempat.
Seperti disinggung sebelumnya, tradisi Tabuik erat kaitannya dengan kisah terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad di Padang Karbala pada tahun 681. Husain meninggal dengan cara dipancung dalam Perang Karbala pada tanggal 10 Muharam. Jasadnya dicincang oleh tentara Yazid dari Bani Ummayah. Sementara itu, kepalanya dipisahkan dari badan.
Selepas terbunuhnya Husein, datang arak-arakan dari langit yang dibawa oleh serombongan malaikat. Mayat Husein beserta semua bagian badan yang terbelah diambil dan dimasukan ke dalam arak-arakan yang selanjutnya dibawa terbang oleh seekor burak ke langit.
Selanjutnya, masih mengutip Refisrul (2016), ketika burak naik ke atas langit, pada keranda atau arak-arakan itu ikut pula seorang dari Bangsa Cipai (Sipaki) yang keberadaannya sempat tidak diketahui oleh malaikat. Setelah pertengahan perjalanan, malaikat akhirnya menyadari bahwa ada seorang manusia yang hidup ikut bersama mereka dan bergantung pada keranda jasad Husein.
Malaikat tidak membenarkan tindakan orang Cipei itu untuk ikut dan menyuruhnya turun kembali ke tanah (bumi), tetapi orang tersebut bermohon agar diizinkan ikut terbang karena ia sangat ingin sekali pergi bersama arak-arakan yang membawa jasad Husein.
Namun, malaikat tetap tidak mengizinkannya dan menurunkannya kembali ke atas tanah (bumi). Sebagai pengobat hatinya, malaikat menyuruh orang Cipei itu untuk membuat arak-arakan sebagaimana dia lihat pada hari itu. Orang Cipei itu akhirnya menuruti anjuran malaikat dan membuat arak-arakan seperti yang dia lihat ketika jasad Husein dibawa ke langit.
Akhirnya, pada tiap-tiap awal bulan Muharam bangsa Cipei menyelenggarakan arak-arakan dalam wujud tabut yang dibawa berkeliling kampung.
Turun Naik Hoyak Tabuik
Dalam perkembangannya, penyelenggaraan arak-arakan bangsa Cipei untuk mengenang wafatnya Husein diwariskan turun-temurun di Pariaman (hlm. 538). Catatan awal penyelenggaraan Tabuik di Pariaman tercatat pada tahun 1824 sesama penjajahan Belanda.
Uniknya, perayaan Tabuik saat itu didukung oleh pemerintah kolonial Belanda. Di mata kolonial, upacara Tabuik bisa jadi sarana adu domba karena adanya prosesi cakak (perkelahian) sesama peserta Tabuik.
Pada awalnya, ada delapan Tabuik yang ditampilkan, lalu menyusut menjadi lima. Kelima Tabuik tersebut dinamakan berdasarkan kampung, yakni Cimparuh, Subarang (Kampung Jawa), Sungai Batang, Padusunan, dan Karang Aur.
Pada tahun 1910, muncul kesepakatan masyarakat untuk menyesuaikan perayaan Tabuik dengan adat istiadat Minangkabau, sehingga Tabuik berkembang menjadi seperti yang ada saat ini. Masyarakat setiap kampung secara bergotong-royong mencarikan dana untuk membuat sebuah Tabuik.
Efrianto dalam Jejak Peradaban Masa Lalu di Kota Pariaman (2016) menuturkan, setelah kemerdekaan Indonesia, perayaan Tabuik tidak dilaksanakan setiap tahun. Kondisi ini berkaitan dengan keadaan negara dan masyarakat saat itu yang tidak memungkinkan menggelar kegiatan tersebut. Kendati demikian, pelaksanaan dan tata caranya tetap disakralkan oleh masyarakat.
Sayangnya, perayaan Tabuik di Pariaman sempat terhenti dari tahun 1969 sampai dengan 1980. Hal tersebut disebabkan terbatasnya kemampuan masyarakat dalam membiayai pembuatan Tabuik, serta sering terjadinya perkelahian massal ketika perayaan Tabuik berlangsung (hlm. 414).
Perayaan Tabuik dihidupkan kembali pada tahun 1980, semasa Pariaman di bawah pimpinan Bupati Anas Malik. Sejak itu, Tabuik yang ditampilkan hanya dua, yakni Tabuik Pasar dan Tabuik Subarang (Kampung Jawa) yang pada dasarnya merupakan Tabuik Induak (asal) bagi Tabuik lainnya.
Kontroversi Tabuik
Penyelenggaraan Tabuik tak terlepas kontroversi. Suara-suara penolakan terhadap Tabuik masih terus terdengar sampai saat ini. Pihak yang menentang Tabuik menuding tradisi tersebut merusak akidah, karena identik dengan perayaan penganut Islam Syiah, sementara masyarakat Pariaman merupakan penganut Islam Sunni.
Akan tetapi, budayawan A.A. Navis dalam Alam Takambang Menjadi Guru (1986) menegaskan, masyarakat Pariaman memandang Tabuik sama sekali tidak menyimpang dari akidah. Sebab, pelaksanaan Tabuik hanya semata-mata upacara memperingati wafatnya Husein (hlm. 277).
Hal senada dijelaskan Maezan Kahli Gibran dalam Tradisi Tabuik di Kota Pariaman (2015). Masyarakat Pariaman tidak mempermasalahkan mengenai asal muasal Tabuik dari kalangan Islam Syiah. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana Tabuik dijaga dan dilestarikan sebagai warisan budaya (hlm. 9).
Saat ini, Tabuik menjelma menjadi festival budaya yang masuk sebagai agenda wisata tahunan Pemerintah Kota Pariaman. Kendati masih ada penolakan dari segelintir pihak, atraksi Tabuik telah menjadi nilai jual pariwisata Pariaman di mata dunia dan secara tak langsung berdampak pada perekonomian masyarakat.
Tabuik menjadi perhelatan besar yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Puncak penyelenggaraan Tabuik selalu disaksikan ribuan pengunjung. Mereka datang dari berbagai pelosok Sumatera Barat dan tak jarang beberapa turis asing.
Pantai Gandoriah yang menjadi lokasi puncak perayaan Tabuik sekaligus tempat Tabuik dilarungkan seakan menjadi lautan manusia. Sebagaimana tergambar di lirik lagu Minang populer: Pariaman tadanga langang, batabuik mangkonyo rami. (Nra)